|
28.09.2020 01:48:56 6255x read. INDONESIA Review Novel berjudul “Jalan Cahaya”. Review Novel berjudul “Jalan Cahaya”. Pertama-tama harus saya katakan bahwa pengarang sangat terampil merangkai kisah dan menyatakan secara lugas dan terang benderang dengan bahasa kekinian tentang nilai-nilai dalam kehidupan membiara. Semua kisah dan ungkapan dalam novel ini benar-benar menggambarkan bagaimana kehidupan membiara diperjuangkan dan dihayati oleh para Bruder dengan segala keunikan dan perbedaan, sekaligus kemauan baik, kekuatan doa, penyelenggaraan Ilahi dan perlindungan serta pertolongan Bunda Maria. Cuplikan sejarah Kongregasi, Konstitusi dan ungkapan-ungkapan bernas dan bermakna dari pendiri Kongreasi ditaruh pada mulut beberapa tokoh dengan sangat tepat, terutama lewat tokoh utamanya yaitu Bruder Margo Sunaryo. Saya sendiri tidak mampu menolak “tarikan” novel ini untuk berimajinasi, masuk di dalamnya, dan ikut serta merefleksikan perjalanan panggilan hidup saya.
Latarbelakang tempat Novel ini mulai dari daerah misi yang legendaris yaitu Boro, Kalibawang dengan tokoh misi rm. Prenthaler, Muntilan dengan Xaverius College dan rm. Van Lith, serta tentu saja Wisma Bernardus di Semarang, di mana tokoh utama tinggal. Sedangkan latarbelakang peristiwa mulai dari jaman sebelum dan awal kemerdekaan, peristiwa G30 S/PKI, sampai zaman ke kinian, dengan menyebut dalang fenomenal sekarang yang lagi laris yaitu Ki Seno Nugroho. Tokoh utama dalam novel ini adalah Bruder Margo Sunaryo yang pada waktu kecil sebenarnya bernama Duta Baskara. Namun karena sewaktu kecil sakit-sakitan, lalu seperti kebiasaan dan kepercayaan zaman itu, namanya diubah menjadi Margo Sunaryo agar tumbuh sehat dan tidak lagi sakit-sakitan. Tokoh ini dipergunakan oleh penulis sebagai tokoh perangkai berbagai kisah yang diramu dengan sangat apik dan mengalir sehingga enak dibaca, walau ada “kisah flash back” di sana-sini tetapi rangkaiannya justru membuat novel ini menjadi enak dibaca dan lebih dinamis tidak membosankan. Bruder Margo Sunaryo bukanlah bruder biasa, walau dilukiskan sebagai Bruder Guru yang tidak memiliki jabatan fungsional dan tidak hebat. Tetapi kehadiran dan pengaruhnya, kesederhanaan dan kesupelannya, kesabaran dan keceriaannya, serta lebih-lebih kebijaksanaannya sangat kentara memengaruhi siapa saja, bahkan termasuk Bruder Provinsial. Tokoh Bruder Margo Sunaryo dihormati dan disegani bukan karena kedudukannya, namun karena kedekatan, kebersahajaan dan kebijaksanaannya memperjuangkan, menghayati dan menghadapi berbagai persoalan hidup membiara, dengan sangat manusiawi sekaligus Ilahi.
Bruder Margo Sunaryo datang dari keluarga guru. Ayahnya sangat bangga dan komit akan panggilan tugasnya sebagai seorang guru. Dia cinta akan bangsanya dengan setia dan serius menjalankan tugas panggilannya sebagai guru. Tujuannya hanya satu seperti yang dicita-citakan Romo Van Lith, agar orang-orang pribumi tidak menjadi “kuli” tetapi harus menjadi “tuan” atas tanah airnya sendiri. Ayahnya sangat ingin agar Margo Sunaryo menjadi seorang guru seperti dirinya. Spiritualitas sebagai Bruder Guru sungguh meresap di dalam hidupnya. Dia menjadi Guru yang mengabdi Murid. Semangat bahwa hidup harus dibagi supaya semakin menghidupi, menjadi landasan pelayanannya sebagai seorang Bruder Guru. Begitu juga dalam kehidupan bersamanya sebagai bruder dia berprinsip bahwa “Hidup sebagai saudara bagi semua orang. Menerima berbagai karunia ilahi. Dibagikan dalam persekutuan. Memberikan diri untuk Misi”. Dan juga prinsip, “menerima dan merangkul setiap kepribadian” yang amat penting dalam kehidupan bersama di komunitas. Agar setiap anggota merasa kerasan, karena menciptakan dan membantu bruder lain kerasan itu merupakan bagian dari pembinaan. Seperti yang telah diteladankan oleh para misionaris Belanda terdahulu. Dia berprinsip bahwa “Seluruh hidup bruder adalah Persembahan”. Ketika dalam masa pendidikan di “Kweekschool” di Muntilan, dia mengalami pengalaman yang amat menyedihkan sehubungan tragedi “PKI”. Ayahnya ditangkap aparat karena organisasi guru dimana ayahnya bergabung dituduh beraviliasi dengan PKI. Dan ayahnya karena kecintaannya sebagai seorang guru dan semangat kemanusiaannya, mengorbankan dirinya. Kisah ini menjadikan “titik krisis” keinginannya menjadi guru. Margo muda tidak lagi berminat menjadi guru seperti ayahnya. Maka setelah lulus SGB dia tidak lagi meneruskan sekolahnya. Dia hanya ingin menjadi “ahli mesin atau montir”. “Titip balik” baru terjadi setelah dia bertemu dengan bruder Marianus. Bahkan dikemudian hari tanpa sepengetahuan ibundanya dan banyak orang, dia berhasrat menjadi Bruder. Walaupun keinginannya menjadi bruder adalah untuk membuktikan dan menunjukkan bahwa dia benar, tidak seperti yang diprasangkakan oleh Bruder Pamong Asrama, ketika terjadi permasalahan pencurian uang di asrama. Justru ketika dia merasa tidak senang dengan sikap dan kepribadian bruder pamong asrama, dia ingin menjadi bruder, NAMUN tidak seperti bruder pamong asrama yang memarahi dan berprasangka buruk terhadapnya. Akhirnya dia tidak hanya menjadi montir motor tetapi menjadi montir jiwa-jiwa dengan menjadi seorang Bruder Guru.
Dalam novel ini pada masa tuanya, bruder Margo Sunaryo dikarakterkan sebagai yang memberikan banyak nasihat kebijaksanaan kepada beberapa frater, bruder muda dan medior yang sedang dalam proses pembinaan dan yang sedang mengalami permasalahan dalam hidup bersama, maupun “kekeringan” panggilan. Tokoh-tokoh tersebut diwakili oleh bruder Aryo, Dominicus, Kenthus, dan beberapa tokoh lainnya. Pada kisah-kisah ini penulis mengungkapkan dengan lugas tentang permasalahan yang dapat dihadapi oleh banyak bruder berkaitan dengan kaul-kaul mereka. Tidak hanya soal kaul selibat yang pasti lebih sensitif dan mudah dijadikan isu “legit” baik bagi sesama bruder maupun umat, tetapi juga permasalahan kaul ketaatan dan kemiskinan. Realitas komunitas yang sering ada kusak-kusuk gosip tentang sesama dan kecurigaan, menjadikan relasi kurang sehat dan menambah “keruwetan permasalahan”. Obatnya paling tidak diungkapkan oleh Bruder Sunaryo dengan tepat, di dalam komunitas hendaknya “Kita hidup sebagai keluarga dengan semangat saling mencintai, merawat dan memelihara. Menjadi saudara satu dengan yang lain.” Nasihat yang sangat bernilai dan bernas, sebagai suatu refleksi bersama bagi para bruder yang sangat “kritis” memandang realitas kehidupan dan karya, serta tantangan masa depan yang perlu dihadapi dengan keberanian dan peneuh pengharapan, terungkap dalam surat panjang lebar yang disampaikan kepada Bruder Provinsial. Misalnya saja otokritiknya sebagai bruder guru, bahwa semakin banyak bruder yang tidak menjadi bruder guru, tetapi menjadi bruder pengambil keputusan dengan fungsi-fungsi tertentu dan bruder administrator dibandingkan menjadi bruder guru yang mengabdi murid, yang bersentuhan dengan murid yang sungguh-sungguh mencintai murid seperti yang dikerjakan para pendiri dan bruder-bruder pendahulu. Dapat dikatakan bahwa, “Biarlah anak-anak datang kepadaKU” tidak lagi sungguh-sungguh dihayati oleh para Bruder Guru. Masalah kehidupan selibat juga ditegaskan bahwa kaul tersebut adalah perjuangan dan rahmat sepanjang masa sampai meninggal dunia. Oleh karena itu perlu kematangan diri, selesai dengan diri-sendiri, saling mencintai secara sehat di dalam komunitas, persaudaaraan yang kuat dan tiada henti untuk terus-menerus memohon rahmat kekuatan dari Tuhan untuk dianugerahi kemampuan menghayatinya dengan baik. Ungkapan tentang ketaatan dalam bentuk lain sangat mengena bahwa di dalam kongregasi rotasi harus seperti bola dunia BUKAN seperti roda, karena kalau seperti roda maka akan selalu ada “korban” yang tergencet, walau atas nama “ketaatan”. Soal kemiskinan dia menyitir kalimat sakti dari Bruder Bernardus Hocken, “Jangan sekali-sekali meninggalkan orang miskin karena mereka adalah guru yang berharga.” Untuk kemiskinan diri dalam arti kerendahan hati dan kebersahajaan, dia mengungkapkan ungkapan menohok ini, “Haruskah manusia sampai ke ketinggian untuk melihat betapa rendahnya dan kecilnya kemanusiaan.”
Inti permenungan yang teramat kaya dan harusnya menjadi bahan permenungan dan pemicu gerak para bruder dan juga umat pada umumnya terdapat dalam surat panjang di atas dalam rangka 100 tahun hadirnya para Bruder FIC di Indonesia. Berani berharap untuk masa depan Kongregasi. Pertama-tama harus mengedepankan kualitas hidup sebagai FIC yang berarti juga kualitas hidup bersama dan doa. Dan yang kedua meningkatkan kualitas karya kerasulan yang berarti berani berbenah dan berani memecah diri untuk karya-karya baru yang memang dibutuhkan agar semakin banyak pihak yang menerima “keselamatan.” Kongregasi kita harus bergerak: aktif berkarya, dasarnya hidup doa yang kita lambungkan secara pribadi dan di komunitas. Inilah inti hidup kerasulan, ungkap bruder Margo Sunaryo. Permenungan pribadi, penemuan jati diri sebagai Bruder FIC sejati, dikisahkan secara apik ketika bruder Margo Sunaryo mengenakan jubah setelah penemuan hakikatnya menjadi bruder guru. “Bersahaja sekaligus bercahaya”. Bukan jubahnya yang membuat bruder Margo bersahaja dan bercahaya, namun karena kesejatiannya sebagai bruder FIC. Penemuan, penerimaan panggilan yang telah memenuhi diri sejati sebagai Bruder Guru memancarkan aura “Bruder tenan/Bruder sejati”. Sudah sampai pada tingkat “semeleh” dan “ikhlas” tidak hanya menjalani masa tuanya, tetapi terhadap identitas sejatinya sebagai Bruder FIC sejati, sebagai “Bruder Guru”. Dia sudah sampai pada titik kemampuan menyelami diri-sendiri, yang diperjuangkan selama hidup dan menjadi misi terdalamnya. Salah satu keistimewaan dari novel ini juga ada penggalan kisah pewayangan tentang Bima yang mencari dan menemukan tirtapawitra. Kisah ini diawali hasrat Bima untuk mengetahui asal-usul kehidupan (sangkan paraning dumadi) dan tujua akhir setelah kematian (kasedan jati). Ini adalah soal kerohanian mendalam. Dia bertanya pada guruya Drona, walau dia tahu bahwa Drona bukan guru keagamaan tetapi guru “peperangan”. Oleh Drona dia diuji bahwa hasrat mulia pasti akan ada jalan jika diupayakan dengan kesungguhan. Bima diminta mencari “kayu gung susuhing angin” di hutan Candramuka, dan disana dia mendapat pertanda bahwa yang dia cari akan mendapat kekuatan dan kejayaan. Kemudian diminta oleh Drona untuk mencarinya “di tengah samudera Minangkalbu”. Dia mengartikan bahwa minangkalbu adalah apa yang ada di hati, maka dia bergegas berjalan lurus terus sampai ke tepi laut. Ada rasa takut dan ragu untuk mencebur ke samudera. Namun akhirnya Bima bertekad bulat masuk ke laut dan tenggelam ke dasar laut. Dia bertemua ular raksasa dan terjadi pertempuran hebat, dia mampu mengalahkannya dan terlempar di pulau karang kecil di tengah samudera. Yang paling sulit adalah mengalahkan napsu diri-sendiri. Napsu hanya dapat dikalahkan dengan kemauan keras yang disertai keyakinan bahwa sanggup untuk mengalahkannya. Di pulau karang itulah dia berjumpa dengan Dewa Ruci atau ruh suci. Oleh Dewa Ruci diminta untuk masuk ke dalam dirinya melalui telinganya dengan cara melompat setinggi-tingginya dengan kekuatan penuh. Orang harus focus dan mengerahkan segala tenaga untuk mencapai yang dituju. Untuk masuk ke alam rohani, yang diperlukan adalah keberanian dan fokus untuk berinteraksi dengan diri-sendiri, berwawanhati diri-sendiri. Dan di dalam diri Dewa Ruci ini, Bima menemukan makna Ketuhanan. Perjalanan panggilan dan makna panggilan dapat dikomparasikan dengan perjalanan rohani Bima. Memaknai “sangkan paraning dumadi” dan “Kasedan jati”, dipanggil dan diutus menjadi bruder FIC sejati untuk mencapai keselamtan sejati di dalam Tuhan Yesus yang memanggil dan mengutus kita yang kita perjuangkan dan hayati dengan sepenuh hati, fokus dan penuh pengharapan. Novel ini ditutup dengan kisah perayaan pengucapan kaul sementara,pembaharuan kaul dan kaul kekal di Muntilan. Merupakan penutup balik dari awal novel yang dimulai dengan rumusan kaul kekal Bruder Margo Sunaryo. Bingkai kisah yang amat apik dan tepat, menggambarkan bahwa hidup para bruder hendaknya dibingkai oleh janji bebas dan merdeka mereka untuk mengikatkan diri pada karya keselamatan secara istimewa. Semoga bingkai ini menyadarkan kita semua akan janji kita dihadapan Tuhan dan Gereja untuk semakin menjadi manusia yang sebenarnya dan yang sesungguhnya, untuk kebahagiaan terdalam dan paling sempurna bagi diri sendiri dan sesama, sebab Allah adalah Kasih. Menjadi Bruder berarti berziarah melalui “Jalan Cahaya” untuk mencapai Cahaya Sejati melalui seluruh diri dan kehidupan yang adalah misi terdalam kita semua. Reviewer
Br. Theo Riyanto, FIC (penulis buku-buku rohani, psikologi popular, dan pendidikan) |