|
23.06.2020 13:57:47 4930x read. INDONESIA Kurangkai Keping-keping Ilahi (Pengalaman akan Allah Br. Matheus Sukirjan). Kurangkai Keping-keping Ilahi (Pengalaman akan Allah Br. Matheus Sukirjan). Kisah hidupku sederhana, sesederhana tubuhku dan diriku. Jangan berharap menemukan yang luar biasa padaku. Kecuali kalau kisah hidupku, dan aku, dilihat dengan cara yang lain, dengan cara yang tak biasa. Yaitu dengan cara Yang ilahi melihat kehidupan, dan ciptaan. Barangkali dengan cara itu akan ditemukan yang pantas dinikmati dari ragam kesederhanaanku. Aku lahir di Boro pada masa yang tak mudah. Seingatku aku lahir pada masa penjajahan Jepang. Keluarga kami sederhana. Mungkin bahkan serba kekurangan. Namun sebagai bocah aku mengalami dan melihat semua itu sebagai yang wajar. Yang pasti, dua kakakku meninggal selagi bocah. Dan ibuku meninggal ketika aku masih kecil, usia kelas satu SD. Seingatku ia meninggal karena diare akut. Sampai di sini sudah dapat diduga kisah-kisahku sederhana. Maka aku menggambarkannya laksana keping-keping kecil. Kuharap keping-keping itu suatu keping mozaik. Dan mozaik itu dipendari remang keilahian. Sebagai bocah yang sederhana, aku tak hanya ringkih dalam hal fisik. Aku juga punya ragam keringkihan. Aku ingat ketika aku mengalami sakit malaria. Betapa ringkihnya aku waktu itu. Semua keringkihan itu menjadi keping-keping hidupku yang sederhana. Keringkihanku juga tampak dari pengalaman belajarku. Aku ingat, saat aku kelas satu SD, ayahku ingin agar aku berhenti bersekolah. Beliau ingin agar aku menjaga adik-adikku. Memang aku berusaha menjaga adik-adikku. Aku ingat, kalau adikku yang paling kecil menangis, aku berusaha menghiburnya. Tapi seringkali aku tak berhasil menghibur adikku itu. Maka aku pun akhirnya ikut menangis sedih. Waktu mulai sekolah, waktu itu aku dimasukkan sekolah bersama adikku. Sayang, perjalanan studiku tak mulus. Setelah ibuku meninggal, aku berhenti studi karena harus mengasuh adikku. Sementara adikku terus belajar di sekolah. Setelah ayahku menikah lagi, barulah aku masuk sekolah lagi. Aku mulai dari awal lagi, yaitu masuk kelas I. Sementara adikku telah masuk kelas II. Aku dapat menyelesaikan studiku di SD. Aku lulus dengan nilai Berhitungku 10, nilai Bahasa Indonesiaku 9, dan nilai Pengetahuan Umumku 5. Aku bersyukur juga karena adikku bisa terus studi hingga SGB dengan ikatan dinas di Malang. Kuingat bagaimana teman-teman SD-ku memperlakukan diriku. Mereka cenderung meremehkanku. Ketika aku mengungkapkan keinginanku untuk menjadi bruder, spontan mereka mengejekku. “Orang sepertimu tak akan kuat menjadi bruder,” kata mereka. Ada juga ungkapan,”Coba aku lihat seberapa kuat kamu mewujudkan keinginanmu menjadi bruder.” Cara mereka memperlakukanku memang menjengkelkan. Tapi apa boleh buat, mereka punya alasan untuk memperlakukanku seperti itu. Seperti aku katakan, keadaanku waktu itu sungguh sebagai bocah yang sederhana. Barangkali penampilanku juga kurang meyakinkan, penampilan yang tak layak untuk menjadi bruder. Adakah perlakuan teman-teman yang meremehkanku itu laksana cambuk kehidupan? Ataukah ia justru menjadi sahabat pengingat yang memantik api perjuangan ketika aku meringkih dan lelah menekuni pilihan? Entahlah. Ada fakta lain yang mungkin membuat teman-teman semasa bocahku meremehkanku. Saat belajar di SMP Boro, aku tidak naik kelas dua kali. Pertama di kelas satu. Tapi sekolah masih memberi kesempatan untuk mengulang. Tahun berikutnya aku naik ke kelas dua. Di kelas dua ternyata aku tak naik kelas lagi. Dan untuk yang kedua ini sekolah tak memberi kesempatan lagi untuk mengulang. Nah, dari fakta itu tampaklah betapa sederhananya aku ini. Dan itu juga mungkin yang menjadi alasan, atau menggoda teman-temanku untuk meremehkanku. Aku juga ingat apa yang dikatakan Br. Landoald tentangku, “Matheus, kamu itu rajin. Tapi nilaimu rendah.” Perkataan Br. Landoald itu menggambarkan betapa sederhananya aku. Keringkihanku semasa bocah mungkin juga akibat kehidupan keluargaku. Keluarga yang miskin telah meringkihkan. Namun perilaku ayahku yang kesulitan mengelola dirinya lebih meringkihkanku. Aku sering melihat ibuku terluka dan berduka karena polah tingkah ayahku. Ia sempat mengatakan perilaku ayahku kepadaku. Ya, ibuku tak mengada-ada tentang dukanya. Aku sendiri pernah melihat polah tingkah ayah yang melukai dan membuat ibuku berduka. Kurasakan benar duka ibuku. Pengalaman itu seperti meneriakkan padaku untuk tak sekali-kelai melukai perempuan. Mungkinkah pengalaman itu menggemakan hasrat untuk menjalani hidup yang lain, tak seperti hidup yang dipilih ayahku? Entahlah. Aku termasuk dekat dengan ibuku. Rasa kami mudah saling menyentuh. Aku yang bocah waktu itu kerap disentuh gundah duka rasa ibuku. Mungkin itu juga yang membuatku tak selalu hadir dalam kokoh. Ya, aku mungkin tak hadir sebagai bocah yang kokoh. Aku mungkin bukan bocah yang percaya diri. Setidaknya pengalaman ini bisa menggambarkannya. Waktu itu, aku sebagai murid SD. Salah satu guruku Br. Simeon. Seingatku waktu itu aku sering ke sekolah mengenakan baju berlengan panjang. Entah mengapa aku sering mengikatkan lengan baju itu di pinggang. Agaknya apa yang aku buat dirasa tak elok bagi Br. Simeon. Ia menyapaku, “Jangan menggunakan baju seperti itu. Besok jadi bruder saja, tak usah mengenakan seperti itu.” Ya, aku yang bocah waktu itu sering melihat para bruder berjubah dengan bandelir terikat di pinggang. Pemandangan itu terasa elok bagiku. Aku rindu untuk mengenakan bandelir semacam itu. Sapaan Br. Simeon menggetarkan sudut hatiku. Sapaan itu juga memantik hasratku untuk menjadi bruder. Rindu, damba, dan hasratku untuk menjadi bruder semasa bocah dibungkus ragam keringkihanku. Ia tak bersinar terang. Kubiarkan ia tinggal di lubuk hatiku. Sembari kuikuti sentuhan-sentuhan pada benih panggilan itu. Maka ketika aku tak mendapat ijin untuk mengulang di kelas kedua SMP, ketika Br. Lobardus menawariku untuk bekerja di bruderdan Kidul Loji Yogyakarta, aku terima saja tawaran itu. Lalu aku mulai hidup di dalam bruderan. Di sana aku bekerja membantu para bruder. Tugasku membersihkan bruderan dan memasak. Tapi syukurlah, para bruder juga memberi kesempatan kepadaku untuk belajar menjadi misdinar. Aku cukup berhasil belajar menjadi misdinar. Dari kegiatan ini aku mulai banyak dilibatkan dalam acara biara. Beberapa kali aku diminta untuk menjadi misdinar di susteran. Pengalaman menjadi misdinar seperti mengguyurkan pengalaman rohani pada diriku. Mungkinkah itu siraman rohani dari yang ilahi bagi benih panggilanku yang terperam dalam keringkihanku? Entahlah. Setelah hampir dua tahun di bruderan Yogyakarta, hidup bersama para bruder, aku akhirnya mengungkapkan keinginanku untuk menjadi bruder kepada Br. Andreo. Beliau menanggapi keinginanku dengan baik. Bruder Andreo menanyakan aku ingin bergabung menjadi bruder apa. Aku tak bisa menjawabnya. Yang kutahu hanya bruder FIC. Syukurlah, Br. Andreo tak membuat hasratku merumit. Beliau meminta Br. Salvinus yang waktu itu studi di Sanata Dharma untuk mendampingiku. Aku syukuri sentuhan ini. Sejak itu aku mulai punya banyak kesempatan untuk lebih merawat benih panggilanku. Aku diberi kesempatan untuk ikut latihan meditasi setiap pagi sebelum merayakan ekaristi bersama para bruder. Benih panggilanku kian bergerak dan hidup. Dua tahun di Yogyakarta, lalu aku pindah ke Muntilan. Waktu itu seorang petugas dapur bruderan Muntilan dikeluarkan Br. Mario. Aku menggantikan petugas dapur itu. Waktu itu statusku sudah sebagai aspiran. Aku ikuti saja sentuhan itu. Aku terus belajar di Muntilan. Hingga akhirnya aku diijinkan untuk masuk masa postulat pada usia 25 tahun. Masa postulat aku jalani bersembilan. Saat memasuki masa novisiat kami tinggal berlima. Demikian juga prasetia pertama kami ungkapkan berlima. Dan ketika prasetia seumur hidup tinggal tiga orang yang tersisa. Sungguh sulit dipahami, aku satu dari yang tersisa itu adalah yang dirinya tersusun atas ragam keringkihan. Merenungkan hal ini sering menuntunku untuk mengamini sabda Yesus, “Bagi Allah segala sesuatu mungkin.” (Mat 19:26). Bagiku, mungkin juga bagi banyak orang, aku yang dibungkus ragam keringkihan, jelas kesulitan untuk menjalani hidup sebagai religius bruder FIC. Tapi aku tak berpaut pada anggapan manusiawi ini. Aku lebih memilih berpegang pada sabda Tuhan, “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yng mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan.” (Mat 7:7-8). Pada diri yang terbungkus keringkihan ini, aku hanya bisa membuka diri. Membiarkan Allah menyentuh dan menumbuh kembangkan benih panggilanku. Hanya berpijak padaku tak mungkin, hanya bila Allah yang bekerja, segalanya menjadi mungkin. Begitulah aku jalani hidup dan panggilanku dengan cara yang sederhana. Ketika sebagai bruder muda aku tertarik pada perempuan, kuhayati pengalaman itu dengan sederhana. Aku belajar pada kisah Yesus bersama Maria Magdalena. Aku belajar dan hanya mengikuti apa yang dibuat Yesus terhadap perempuan, yaitu Maria Magdalena itu. Relasiku bersama perempuan yang menarik rasaku hanya berhenti pada pertemanan dan persahabatan. Seperti Yesus membuatnya saat berelasi dengan Maria Magdalena. Saat bertugas di SPG van Lith, ketika aku dikabari bahwa seorang siswi sakit hebat. Beberapa menyebutnya kerasukan setan. Aku menyabutnya dengan kesiap siagaanku. Aku hadir pada siswa itu dengan membawa rosario. Bersama bunda Maria aku memberikan diri menolong siswa itu. Syukurlah, ketika aku hadir siswi itu telah membaik. Ia hanya meneriakkan penyesalannya karena telah berbuat dosa. Adakah kesederhanaan dan kesiap siagaanku menolong diindahkan Yang ilahi? Entahlah. Kini kurangkai keping-keping kisahku yang sederhana itu. Semoga kian membentuk gambaran diriku. Bukan semata gambarku. Gambarku semata tak berpendar. Hanya ketika Yang ilahi kubiarkan menonjol tampil dalam keping hidupku, bukan diriku, rangkaian keping itu bakal berpendar. Aku tak hendak terus berpijak pada ringkih dan duka lukaku. Aku ingin meletakkan pada yang lain, pada Yang ilahi yang menyentuh kisahku. Dengan begitu kuharap rangkaian keping-keping kisah hidupku memendarkan inspirasi, atau sekedar pesona. Setidaknya bagiku sendiri. Hingga aku tak bosan menekuni jalan dan cara hidupku yang sederhana ini. Karena aku yakin, ini memang hidupku, tapi bukan hanya aku yang hidup dan menghidupinya. Jalan hidupku itu memang sederhana, tak ada yang istimewa. Tapi pendar sinar yang menyentuhnya begitu istimewa. |