GENERAL COUNCIL F.I.C. - Prins Bisschopsingel 22, 6211 JX Maastricht, The Netherlands  Phone: *31 (0) 43 3508373
Wednesday, April 24 2024  - 1 User Online  
HOMEGUESTBOOKCONTACT USFORUM 



19.11.2019 23:41:11 2463x read.
INSPIRATION
PEMAKNAAN KARYA PERUTUSAN. (dari buku "Panggilan Awam Religius", Kanisius, Theo Riyanto FIC)

PEMAKNAAN KARYA PERUTUSAN.

Panggilan sebagai bruder atau suster adalah jawaban atas kebutuhan dunia. Para bruder dan suster mempersembahkan hidup mereka untuk karya cinta kasih atas nama Tuhan Yesus, melalui keberadaan diri dan karya mereka. Para bruder dan suster menjadi saksi akan kehidupan persekutuan penuh persaudaraan ditengah-tengah dunia yang terbelah dan terpisah-pisah. Kehadiran dan karya para bruder dan suster merupakan panggilan yang autentik dari Tuhan dalam karya penyelamatan, melalui cara hidup di dalam persekutuan persaudaraan.

Religius awam melanjutkan misi Tuhan Yesus di dunia dengan menjadikan Kristus sebagai pusat dan dasar hidup mereka. Para bruder dan suster hendaknya sungguh menyadari dan menghayati diri mereka sebagai yang diutus. “Seperti Bapa telah mengutus Aku, demikian juga Aku mengutus kamu” (Yohanes20:21). Untuk dapat melaksanakan karya perutusan, seperti Tuhan Yesus, para bruder dan suster hendaknya melaksanakan kehendak Allah, bukan kehendak mereka sendiri. Religius awam hendaknya menjadikan diri mereka tempat kehadiran Tuhan, agar orang lain dapat berjumpa dengan Tuhan.

Karya kerasulan merupakan unsur asali dari kongregasi aktif yang merasul. Oleh karena itu, para bruder dan suster dalam kongregasi aktif, harus memiliki semangat atau spiritualitas apostolik dan seluruh karya kerasulan mereka didorong dan dijiwai oleh spiritualitas religius. Menghayati dan melaksanakan karya perutusan selalu menyadari dan menghayati ke-sejati-annya sebagai utusan, maka hendaknya mereka bersatu dengan yang mengutus dan memahami isi dari perutusannya.

Para bruder dan suster diutus untuk melayani Tuhan dengan cara melayani sesama. Mereka hendaknya tidak mencari dan mewartakan diri mereka sendiri, melainkan pertama-tama dan utama adalah gairah besar untuk memenuhi kehendak Tuhan, melalui hidup dan karya mereka. Seperti yang terumuskan dalam doa Bapa Kami, “Datanglah kerajaan-Mu dan jadilah kehendak-Mu”. Kemampuan dan talenta para bruder dan suster dalam melaksanakan karya perutusan akan menyumbang pada karya penyelamatan, jikalau mereka menempatkannya di dalam usaha mewujudkan kehendak Tuhan. Para bruder dan suster hendaknya menaklukkan diri mereka di bawah Kristus, supaya Kristus sungguh menjadi semua di dalam semua. “Tetapi kalau segala sesuatu telah ditaklukkan di bawah Kristus, maka Ia sendiri sebagai Anak akan menaklukkan diri-Nya di bawah Dia, yang telah menaklukkan segala sesuatu di bawah-Nya, supaya Allah menjadi semua di dalam semua” (Korintus 15:28).

Karya perutusan hendaknya selalu dikaitkan dengan karya evangelisasi. Evangelisasi yang dimaksud di sini adalah mewartakan baik secara langsung maupun tidak langsung tentang Yesus Kristus dan karya perutusan-Nya untuk mewartakan Kabar Gembira. Karya perutusan tanpa evangelisasi, akan menjadi karya kemanusiaan belaka, tanpa menyertakan Kabar Gembira yang diwar- takan oleh Yesus. Karya demikian dapat dengan mudah jatuh pada karya karitatif belaka, walau baik dan sangat membantu, namun tidak memberikan sukacita sejati karena tidak membawa keselamatan yang datang dari Tuhan. Sekarang ini ada banyak kecenderungan, karya kerasulan menjadi karya karitatif dan karya kemanusiaan belaka, bahkan kadang menjadi karya “sekular”. Karya perutusan terlalu bercampur baur dengan “manajemen” duniawi, profesionalitas bruder dan suster lebih cenderung ke arah profesionalitas manusiawi dan kurang dijiwai oleh “profesionalitas” kereligiusan mereka. Baik secara pribadi maupun bersama-sama, para bruder dan suster kurang memberikan perhatian pada aspek evangelisasi dalam karya kerasulan mereka. Bahkan dapat terjadi, secara struktural formal juga kurang memberikan tekanan pada aspek evangelisasi. Mungkin simbol-simbol kekatolikan dan kereligiusan masih dapat ditemukan, namun jiwa kerasulannya sudah tidak atau kurang menunjukkan bahwa kerasulan itu adalah kerasulan para religius. Kualitas karya juga sering kali hanya diukur dari segi manajemen manusiawi dan kriteria-kriteria manajemen organisasi, tidak atau kurang diukur dari bagaimana Yesus Kristus mengelola karya kerasulan-Nya. Apakah karya kerasulan itu sungguh menyelamatkan jiwa manusia atau tidak? Apakah karya kerasulan itu sungguh mewartakan Kabar Gembira atau tidak? Apakah karya kerasulan tersebut menjadi wahana dan sarana untuk mewartakan Kasih Kristus atau tidak? Apakah kehadiran dan karya para bruder dan suster membawa sukacita injili atau tidak? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini mestinya menjadi alat untuk mengetahui apakah nilai religius dan evangelisasi ada dan terjadi atau tidak dalam karya-karya kerasulan mereka. Perbedaan yang paling membuat “beda” antara karya sekular dan karya kerasulan antara lain adalah nilai-nilai kereligiusan dan evangelisasi yang dilaksanakan dalam karya kerasulan.

Dengan karya perutusan, hendaknya para bruder dan suster memberikan kesaksian tentang kasih Allah kepada manusia dan membawa mereka kepada kehidupan yang lebih sempurna. Karya mereka merupakan sarana untuk menunjukkan kasih Allah kepada manusia. Karya perutusan mereka bukan tujuan, namun merupakan cara atau jalan yang menunjukkan sebagian dari karya Allah yang besar melalui Yesus Kristus. Allah adalah kasih. Kasih Allah inilah yang hendaknya menjiwai seluruh karya perutusan, sehingga siapa pun yang dilayani dan berkarya bersama mereka, menikmati kasih Allah. Kasih hendaknya menjadi ukuran “berhasil tidaknya” seorang religius awam melaksanakan karya perutusannya. Sekarang ini masih ada kecenderungan, beberapa religius awam dalam melaksanakan karya perutusannya kurang dijiwai oleh kasih Allah, lebih menonjolkan kecerdasan intelektual, bahkan ada yang lebih menonjolkan “ego” pribadi. Bukannya mereka menunjukkan kasih Allah, namun justru menunjukkan hal-hal yang berlawanan dengan kasih Allah. Cukup banyak orang entah yang berkarya bersama mereka atau yang mereka “layani” justru mengalami luka batin atau sakit hati, karena sikap dan perbuatan mereka. Mereka yang dilayani atau yang berkarya bersama, sulit untuk melihat serta mengalami sikap dan tindakan kasih dari beberapa religius awam tersebut. Oleh karena itu, para bruder dan suster hendaknya mengusahakan untuk mengalami kasih Allah dan tidak hanya berbicara atau tahu tentang definisi kasih Allah. Dengan mengalami kasih Allah, mereka juga akan memancarkan kasih Allah kepada mereka yang berkarya bersama mereka dan yang mereka layani. Seberapa besar kasih yang telah mereka alami? Seberapa besar kasih yang telah menyertai karya perutusan?Itulah yang penting dalam pemaknaan terus-menerus karya perutusan, sehingga mampu menyelamatkan, karena mengalami dan menebarkan kasih. Panggilan para pendiri dan para pengikut mereka selalu merupakan perwujudan konkret dari begitu besarnya cinta kasih mereka kepada Tuhan dan pengalaman kasih Allah yang begitu besar yang telah mereka alami, sehingga kasih itu meluap kepada siapa saja yang dijumpai dan dilayani.

Dalam memaknai karya perutusan sesuai zamannya, hendaklah para bruder dan suster tetap ber- pijak pada karisma dan jenis karya yang telah dimulai oleh para pendiri. Pendalaman dan pemahaman akan sejarah awal kongregasi, khususnya dalam hal karya perutusan, menjadi amat penting agar selalu dapat “melanjutkan”spiritualitas karya kerasulan mereka dan juga “jenis” karya yang mereka lakukan. Spiritualitas dan jenis karya yang mereka lakukan berakar dari panggilan istimewa mereka dan telah teruji oleh sejarah. Walau mungkin jenis karya yang dilaksanakan sama, namun motivasi, roh yang menjiwai, dan cara melaksanakannya berbeda satu dengan yang lainnya. Para bruder dan suster hendaknya tetap berakar pada spiritualitas dan karya awal, sambil secara bijaksana “menyesuaikannya” dengan tanda- tanda dan kebutuhan zaman. Kembali dan terus-menerus kembali pada akar sejarah akan memperkuat dan tidak melunturkan identitas sebagai religius awam sesuai dengan kongregasinya masing-masing. Dengan merefleksikan sejarah awal kongregasi, juga akan “menangkap” kembali cita-cita tertinggi dari para pendiri, visi dan nilai-nilai yang menginspirasi mereka, saat mereka pertama kali mendirikan komunitas tersebut.Dengan demikian kita tetap selalu dengan cerdas budi dan hati menyesuaikan karya perutusan dengan tuntutan zaman, namun tetap berakar pada spiritualitas awal dan esensi karya-karya awal.

Apakah kehadiran, karya perutusan, dan perbuatan- perbuatan baik mereka sesuai dengan yang dibisikkan Roh Kudus kepada para pendiri? Apakah cara kehadiran, karya perutusan mereka masih berakar pada inspirasi awal mereka? Apakah cara mereka mewujudkan karya perutusan sesuai dengan perkembangan zaman, Gereja, dan juga masyarakat pada umumnya?








^:^ : IP 9.9.7.1 : 2 ms   
BROTHERS FIC
 © 2024  http://brothers-fic.org//